Kekuatan dalam tangguh bertahan
Kesaksian Minggu Perdamaian 2022
“Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya”. (Yeremia 18:4)
Tema ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini, terutama karena pandemi yang menyebabkan bertambahnya masalah kesehatan, kehilangan harapan, dan sebagainya.
Apa sebenarnya tangguh bertahan itu?
Selama pelatihan saya dengan Mindanao Peacebuilding Institute pada tahun 2018, saya bertemu dengan seorang wanita Kristen Palestina yang berbagi tentang pengalaman hidupnya di dalam zona perang. Pertanyaan terbesar saya adalah bagaimana mereka bisa memiliki karakter dan daya tahan yang begitu tangguh, kuat di wilayah yang dalam keadaan kacau balau? Bagaimana dia dan keluarganya mampu mengelola seluruh keberadaan mereka di tengah penganiayaan, permusuhan, dan bahkan ledakan bom yang merenggut nyawa teman-temannya?
Resilience (tangguh bertahan) didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, beradaptasi, bergerak maju dan, dalam kasus tertentu, bahkan berkembang, tulis Eilene Zimmerman. Genetika, sejarah pribadi, lingkungan dan konteks situasional semuanya memainkan peran dalam ketangguhan bertahan seseorang1
Saya percaya bahwa tangguh bertahan dapat dibangun pada individu dan masyarakat melalui krisis, tantangan, bencana, tragedi dan penderitaan di mana mereka dapat berdamai dengan situasi dan menyesuaikan diri dengan ketidakpastian. Inilah kekuatan tangguh bertahan secara internal.Viktor E. Frankl, dalam bukunya yang legendaris tentang pengalaman hidupnya di kamp konsentrasi, mengatakan, “seseorang dapat membuat kemenangan dari pengalaman-pengalaman itu, mengubah hidup menjadi kemenangan batin, atau seseorang dapat mengabaikan tantangan yang ada dan hanya tetap bertumbuh, seperti yang dilakukan oleh mayoritas orang tahanan kamp konsentrasi tersebut.” Ini adalah pemikiran yang kuat yang dibuktikan dengan pengalaman nyata akan kemampuan untuk mampu tangguh bertahanan di tengah kesulitan.
Saat saya mengikuti kelas psikososial dan penyembuhan trauma di Anabaptist Mennonite Biblical Seminary (AMBS), saya belajar tentang seni kintsugi. Kintsugi adalah keterampilan luar biasa untuk memulihkan benda-benda yang hancur dengan memoles retakan dan dengan cermat membersihkannya dengan bubuk emas. Adanya cacat emas, menurut tradisi Jepang, membuat potongan-potongan itu semakin berharga. Sangat menyenangkan untuk memikirkan teknik ini sebagai metafora untuk hidup kita, untuk membayangkan aspek hidup kita yang rusak dan tetapi walau rusak tetap memancarkan cahaya, emas, dan keindahan.
Kintsugi mengajarkan kepada kita bahwa bagian tubuh yang terluka dapat membuat kita lebih kuat dan lebih baik dari sebelumnya. Ketika kita berpikir kita telah hancur, kita dapat mengambil bagian-bagian yang telah hancur, menyatukannya kembali, dan belajar menghargai retakan yang ada.
Dalam Perjanjian Lama, Tuhan Yahweh – juga dikenal sebagai tangan pembuat periuk – yang membuat Israel menjadi bejana baru (Yeremia 18:4). Saya suka kata “reworked-dikerjakan ulang” di sini. Saya percaya ini adalah proses menjadi ciptaan baru, pribadi baru, yang semua itu hanya bisa terwujud oleh Tuhan dan kita.
Ini adalah perjalanan perjumpaan kita dengan Tuhan dan, pada saat yang sama, praktik kesadaran diri, penemuan diri, penyembuhan diri atau transformasi diri kita untuk menjadi wadah baru di tangan Sang Pencipta untuk tujuan dan kemuliaan Tuhan.
Di Minggu Perdamain ini, disaat kita mengingat kesulitan, luka, trauma, tantangan, penderitaan atau rasa sakit, kiranya dengan pertolongan dan jangkauan tangan kasih Tuhan, kita dapat dikerjakan ulang sebagai pribadi baru dan komunitas baru milik Tuhan.
Apakah kita bersedia untuk merangkul kehancuran, kerentanan, dan bekas luka milik kita untuk diubah menjadi komunitas Tuhan yang lebih tangguh sehingga kita dapat memberdayakan orang-orang di sekitar kita?
Inilah kekuatan dalam tangguh bertahan, yaitu: bekerja dengan Tuhan untuk bersama-sama menciptakan pembaruan dalam diri kita; menjadi lebih produktif, hidup dengan penuh semangat; menjadi manusia baru; dan menjadi umat Allah yang baru di dunia yang terus berubah ini. Mari berdamai dengan pecahan kita!
—Andi O. Santoso adalah anggota Komisi Misi. Dia adalah pendeta yang ditahbiskan di gereja Mennonite di Indonesia (GKMI), saat ini belajar di Anabaptist Mennonite Biblical Seminary.
- Eilene Zimmerman, “What Makes Some People More Resilient Than Others”, New York Times (https://www.nytimes.com/2020/06/18/health/resilience-relationships-trauma.html)
- Viktor Emil Frankl, Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy (New York: Pocket Books, 1959, 1963), 115.
- Candice Kumai, “Honor your imperfections with the Japanese art of ‘Kintsugi’,” Shine (https://advice.theshineapp.com/articles/honor-your-imperfections-with-the-japanese-art-of-kintsugi/)