Temu Raya kecil tapi penuh sukacita

Sebagai negara dengan semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika”, Indonesia terbukti menjadi tuan rumah yang tepat dalam Temu Raya Mennonite World Conference ke-17, yang terpaksa harus diselenggarakan dengan skala lebih kecil oleh karena aturan pembatasan COVID-19, tetapi walaupun demikian, Temu Raya ini penuh dengan sukacita, keindahan, dan persekutuan. 

Dengan mengambil tempat di salah satu area terbuka di Sekolah Tinggi Teologi Mennonite (JKI) yang berada di atas gunung di kota Salatiga, di pulau Jawa, komunitas Anabaptis dari 44 negara berkumpul pada tanggal 5–10 Juli 2022 untuk reuni gereja global yang diadakan setiap enam tahun, atau tujuh tahun dalam penyelenggaraan saat ini, setelah tertunda karena pandemi virus corona. 

Sebuah acara perayaan yang dilakukan oleh umat Kristen di negara yang 87 persen penduduknya adalah Muslim, acara ini ditutup dalam sebuah ibadah Minggu pagi di Holy Stadium di kota Semarang, sebuah gereja yang berkapasitas 12.000 kursi yang merupakan gedung gereja JKI Injil Kerajaan, sebuah gereja Mennonite yang merupakan salah satu gereja dengan jemaat terbesar di Indonesia. 

Pandemi telah menghancurkan harapan banyak orang yang ingin hadir dan membuat penuh gedung gereja Anabaptis yang besar ini. Tetapi MWC memutuskan untuk membatasi kehadiran hanya 1.000 orang, karena “kami takut kalau kami melanggar aturan pemerintah bila yang datang mengikuti lebih dari 1.000 orang,” kata Liesa Unger, pimpinan international events officer MWC. “Ketakutan terbesar kami bukanlah COVID itu sendiri tetapi bila acara ini ditutup paksa oleh yang berwenang.” 

Peserta yang terdaftar untuk hadir secara langsung adalah 1.144 orang, dimana 594 peserta tersebut mengikuti acara seminggu penuh dan 550 peserta yang hadir secara harian. Enam puluh empat peserta berasal dari Amerika Serikat dan 31 peserta dari Kanada. Setidaknya ada 789 peserta yang mengikuti acara secara live streaming, baik secara individu ataupun kelompok di seluruh dunia. 

Salah satu yang berbeda dalam Temu Raya MWC saat ini dibandingkan dengan pertemuan MWC yang biasanya diadakan adalah rata-rata kehadiran 700 orang setiap harinya, dimana hal ini hanya sekitar 10 persen dari Temu Raya MWC yang biasanya diadakan, tetapi hal ini tidak mengurangi betapa pentingnya para peserta dapat merasakan apa yang Tuhan kerjakan terhadap sekitar 107.000 orang Kristen Anabaptis (dari tiga sinode: GKMI, GITJ dan JKI)* di negara yang mayoritas Muslim dan menjunjung tinggi keragaman. 

Kerukunan umat beragama 
Didik Hartono, pendeta jemaat GKMI di Winong, menceritakan bagaimana gerejanya dan masjid tetangganya menunjukkan wujud visi kerukunan umat beragama di Indonesia. 

Tempat ibadah kedua agama ini “tampaknya menjadi satu,” katanya, karena adanya kanopi yang membentang menyebrang jalan yang menghubungkan kedua tempat ibadah ini. 

Ada sebuah video yang menampilkan bagaimana jemaat gereja dan jamaah masjid saling menjalin persahabatan dan bergotong royong, dimana hal ini menggambarkan “Indonesia yang sesungguhnya.” 

“Semoga kita semua terus membangun nilai-nilai persaudaraan dan hidup damai dengan semua orang dan termasuk juga dengan orang-orang yang tidak seiman dengan kita,” kata Hartono. 

Dalam salah satu kebaktian malam di Temu Raya, hadir para darwis Muslim Sufi, atau semazen, dimana mereka menunjukkan ritual spiritual dengan cara menari berputar. Mengenakan pakaian putih panjang sampai menyentuh lantai, jaket putih lengan panjang dan topi hitam, lima pria dari komunitas Islam Sufi Jepara menari berputar-putar, dengan tangan terangkat, sementara para wanita dari jemaat gereja bernyanyi diiringi dengan permainan musik band. Sufisme adalah salah satu bentuk mistik Islam. Menari berputar adalah praktik meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Tarian religi sufi ini disiarkan langsung dalam kebaktian malam dari GITJ Jepara. Hal ini terjadi karena jemaat gereja memiliki hubungan yang baik dengan komunitas sufi setempat, sehingga pendeta GITJ Jepara mengundang komunitas sufi untuk berpartisipasi, dan pimpinan MWC menyetujui usulan ini, kata Unger. 

Walaupun para penari sufi tidak hadir di Salatiga secara langsung, tetapi hal ini mencerminkan karakter hibriditas Temu Raya saat ini. Karena dari lokasi Temu Raya di Salatiga, peserta dapat menonton dan mengikuti secara live streaming. Untuk melibatkan empat gereja di Jawa Tengah menjadi tuan rumah bagi peserta Temu Raya, maka MWC mengatur agar keempat gereja tersebut dapat menjadi tuan rumah dari empat kebaktian malam. Dengan ditampilkannya pada layar yang besar di belakang panggung, pembicara dan musisi yang berada di lokasi-lokasi terpisah yang berjarak cukup jauh, juga yang hadir di masing-masing gereja lokal dapat dipertemukan dengan peserta lain yang berkumpul di lokasi Temu Raya di Salatiga. 

Beberapa kesulitan-tantangan 

Beberapa peserta Temu Raya terkena COVID-19 dan tidak bisa mengikuti acara secara penuh. Semua orang harus dirapid test pada saat kedatangan. Sekitar 5 persen dinyatakan positif, tetapi tidak ada yang sakit parah, kata Unger. Semua orang diharuskan untuk memakai masker setiap saat. 

Bahkan, César García, sekretaris umum MWC, dinyatakan positif dan harus dikarantina selama beberapa saat. Pidato dari dua pembicara, Salomé Haldemann dari Prancis dan Willi Hugo Perèz dari Guatemala juga harus dibacakan orang lain karena keduannya juga dinyatakan positif COVID. 

Setelah lebih dari dua tahun dalam ketidakpastian dan terjadi beberapa kali perubahan rencana, panitia akhirnya merasa lega karena dapat menggelar acara tersebut. 

Ada saat dimana ada keraguan dalam penyelenggaraan Temu Raya, kata Paulus Widjaja, ketua komite penasihat nasional Temu Raya MWC di Indonesia. Tetapi akhirnya beliau bersyukur karena Temu Raya ini tidak dibatalkan, walaupun ada perasaan kecewa karena jumlah peserta dibatasi menjadi jauh lebih sedikit. 

“Rencana awal akan ada sekitar 10.000 orang yang hadir,” kata Widjaja. “Bahkan kami berharap bahwa Presiden Republik Indonesia juga bisa hadir dalam upacara pembukaan. Karena kami percaya bahwa jika kami mengundang beliau, beliau pasti datang. Tetapi ketika kemudian korona datang, dan semuanya – gagal berantakan!” 

Unger berkata: “Saya senang karena kami harus menunda acara ini setahun, karena tahun lalu terjadi kondisi COVID terburuk. India diberitakan mengalami kondisi yang buruk, bahkan Indonesia lebih menderita kondisinya.” 

Gaya ibadah 

International Ensemble

Selama empat hari penuh Temu Raya, para peserta mengikuti ibadah pagi dan malam, dan juga lokakarya dan tur di sore hari. Sebuah kelompok ansambel internasional memimpin pujian selama 45 menit untuk memulai ibadah pagi dan setengah jam untuk membuka ibadah malam. 

Penyanyi dari seluruh dunia menyumbangkan gaya ibadah yang beragam. Pada malam pembukaan, tim pujian dari Jakarta Praise Community Church (salah satu gereja JKI yang termasuk gereja terbesar di Indonesia dengan 18.000 anggota) membawa energi dan volume seperti konser rock yang tinggi. 

Para peserta diberi kesempatan untuk mendengarkan dua pembicara utama pada setiap program pagi dan satu pembicara setiap malamnya, ditambah dengan kesaksian lainnya, dimana semuanya dijabarkan dari tema Temu Raya, yaitu, “Bersama-sama mengikuti Yesus Melintas Batas.” 

Dari empat hari penyelenggaraan, setiap harinya mengambil fokus pada benua yang berbeda dan pembicara yang membahas aspek yang berbeda dari apa yang komunitas Anabaptis lakukan bersama yaitu: Eropa-belajar bersama; Asia- hidup bersama; Amerika Latin-peduli bersama; Afrika- merayakan bersama. Sedangkan Amerika Utara ditampilkan dalam upacara pembukaan. 

Perdamaian dalam setiap pertimbangan 

Banyak pembicara mengemukakan pandangan pribadi tentang peristiwa dan situasi di negara mereka masing-masing dan menggambarkan bagaimana nilai-nilai Anabaptis terus melekat saat mereka mencari upaya untuk membawa perdamaian dan meringankan penderitaan. 

Jeremiah Choi, seorang pendeta dari Hong Kong, bersaksi tentang demonstrasi dan kekerasan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sebagai tanggapan atas tindakan keras pemerintah China terhadap kebebasan Hong Kong. 

Banyak orang meninggalkan Hong Kong dan pindah ke Inggris, termasuk 10 persen dari jemaatnya, Agape Mennonite Church, “untuk mencari tempat yang ada kebebasan dan harapan,” kata Choi. Tapi dia telah bertekad untuk tetap tinggal di Hong Kong, untuk membangun gereja dan bekerja untuk perdamaian. 

“Jika Anda menghadapi hari esok yang penuh dengan ketidakpastian,” kata Choi, “pandanglah kepada Tuhan, dan lihatlah kembali panggilan Anda.” 

Tigist Tesfaye Gelagle, seorang pemimpin dari Ethiopia, membahas tema tentang merayakan bersama dengan menanyakan: bagaimana mungkin merayakan di tengah dosa, perang, kelaparan, rasisme, penindasan bagi perempuan dan “ketika saya diperlakukan seperti penjahat di imigrasi di sebagian besar negara. Ketika saya diperlakukan sebagai teroris. Ketika saya berada di bawah belas kasihan atasan saya. Bagaimana saya bisa bersukacita dan menari dan menyembah?” 

 Merayakan itu menjadi mungkin, katanya, yaitu ketika kita memperlakukan orang lain sama berartinya seperti dengan kita. 

 “Ketika kita menganggap orang lain tidak berarti, maka tidak ada perayaan bersama,” katanya. “Menganggap betapa berartinya orang lain itu merupakan tindakan yang melintasi batasan. Aku bisa melupakan rasa sakitku jika aku berarti bagimu.” 

Salomé Haldemann dari Prancis menyarankan agar orang Eropa perlu dilatih dalam hal perdamaian oleh gereja global yang memiliki pengalaman dalam menentang adanya perang. “Tiba-tiba teologi dan kepercayaan kami terasa usang. Badai mengambil alih Eropa, dan keyakinan kami runtuh.” 

“Kami menegaskan perlunya nir-kekerasan dalam konteks damai, tetapi dalam menghadapi perang kami melihat bahwa perlawanan tanpa kekerasan sebagai hal yang naif dan tidak realistis,” kata Salomé Haldemann, lulusan Anabaptist Mennonite Biblical Seminary. Anne Hansen dari Jerman yang membacakan teks sambutannya. 

Mengutip tradisi seruan untuk terus mengambil tindakan dalam beberapa Temu Raya MWC, dia mencatat bahwa pada tahun 1967 di Amsterdam, pemimpin hak-hak sipil AS Vincent Harding meminta gereja Mennonites untuk “datang bergabung bersama-sama dengan saudara dan saudari yang berkulit hitam yang sedang memperjuangankan kebebasan.” 

Pada tahun 1984 di Strasbourg, seorang penulis dan profesor dari AS, Ron Sider mendorong perlu dimulainya kekuatan perdamaian tanpa kekerasan, yang memicu pembentukan Community Peacemaker Teams (Kelompok Komunitas Pembawa Damai) 

“Seperti apa mempraktikkan kasih kepada musuh pada tingkat kolektif di waktu dan tempat kita?” kata Salome Haldemann. 

“Mungkin orang-orang Mennonites bisa mempersiapkan diri untuk menentang perang dengan cara tindakan anti-militer, seperti menyelenggarakan kamp pelatihan perlawanan tanpa kekerasan. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk membuat pelatihan yang luas bagi orang-orang di gereja kita untuk belajar dan mempraktekkan dasar-dasar perlawanan sipil.” 

Gamelan

Anggota Komite YAB (Young AnaBaptis) Ebenezer Mondez dari Filipina mengutip bahwa penganiayaan yang terjadi di India dan kekerasan politik di Myanmar sebagai contoh di mana banyak orang Kristen menderita tetapi hal tersebut kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan apa yang terjadi di Ukraina. 

Setelah memuji gereja Mennonites yang ada di Ukraina yang membantu tetangga mereka menghadapi kesulitan yang disebabkan oleh invasi Rusia – dan memuji mereka yang telah mengirim bantuan ke Ukraina – dia berkata: “Saya menantang kita semua untuk dapat melakukan hal yang sama bagi saudara dan saudari kita yang ada di India dan Myanmar. Mari kita belajar lebih banyak tentang situasi mereka dan bagaimana kita dapat menjadi tangan dan kaki Kristus pada saat dibutuhkan.” 

“Dalam masa-masa sulit, kita adalah perpanjangan tangan Tuhan,” kata Ebenezer Mondez. “Mujizat Tuhan datang melalui kita. Beginilah arti hidup bersama di masa krisis. Kita harus melupakan perbedaan dan ketidaksepakatan kita, dan kita harus menemukan tujuan bersama kita untuk perdamaian. Sungguh, krisis dan kesulitan dapat mengeluarkan apa yang terbaik dari dalam diri kita.” 

Desalegn Abebe, presiden Meserete Kristos Church di Ethiopia – sebuah gereja yang memiliki 370.000 anggota dan menjadikan gereja ini sebuah gereja berdenominasi Anabaptis terbesar di dunia – mengundang semua orang untuk hadir dalam Temu Raya mendatang di Ethiopia pada tahun 2028. 

Pada kebaktian penutup di hari Minggu pagi yang diadakan di Holy Stadium, lebih dari 1.000 orang hadir dan duduk di setiap kursi dengan menjaga jarak. Hadir H. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, sebuah provinsi dengan penduduk 36 juta orang, menyapa orang banyak dengan referensi tentang perdamaian dan sejarah Anabaptis.

Dia mengatakan bahwa presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sedang berusaha untuk menengahi perselisihan antara Rusia dan Ukraina untuk menghentikan perang. 

“Ketika ada pertumpahan darah antar negara, adalah tugas kita untuk mencari perdamaian di antara mereka,” katanya. “Apa pun alasannya, perang tidak akan pernah bisa dibenarkan.” 

H. Ganjar Pranowo mengutip sebuah cerita yang sangat dikenal oleh banyak orang Anabaptis seperti yang tercatat dalam Martyrs Mirror tentang seorang martir abad ke-16 yang bernama Dirk Willems. Beliau memberi sambutan dalam bahasa Indonesia, dengan teks terjemahan bahasa Inggris yang diproyeksikan di layar. 

Beliau mengatakan bahwa beliau tidak perlu memberitahu orang lain untuk “meniru orang Mennonites dalam melakukan dan menyebarkan kedamaian” – seperti yang dilakukan Willems – karena prinsip perdamaian dan kebenaran “ seharusnya tertanam dalam setiap jiwa manusia.” 

Dalam kotbah terakhir dalam sepekan pertemuan ini, Nindyo Sasongko, seorang pendeta asal GKMI, Indonesia, yang saat ini mengajar di Fordham University dan tinggal di New York City, AS, membungkus tema melintas batas dengan menghubungkannya dengan kisah dalam Alkitab tentang Rut, seorang wanita Moab yang bersikeras untuk mengikuti ibu mertuanya yang adalah orang Israel ke mana pun ibu mertuanya pergi. 

Henk Stenvers and H. Ganjar Pranowo

Sebuah persekutuan yang lebih kuat 

Dalam kesetiaannya kepada Naomi, Rut menunjukkan keberanian yang luar biasa, dengan berani melintas batas-batas kebangsaan dan agama, kata Sasongko. Ketika kita mengikuti Yesus melintas batas, katanya, kita juga mengikuti teladan Rut. 

“Rekonsiliasi tidak dapat terwujud jika tidak ada komitmen untuk melintasi batas,” katanya. 

Kepemimpinan MWC diserahkan dari J. Nelson Kraybill dari Amerika Serikat kepada Henk Stenvers dari Belanda. Stenver adalah seorang dokter medis, dan telah melayani di Komisi Diakonia MWC selama 10 tahun. 

Pada upacara penutupan, Henk Stenvers, presiden MWC yang baru, mengajak semua untuk melihat ke masa depan. 

“Sekarang di akhir pertemuan akbar ini, kita melihat ke masa depan dengan energi dan harapan,” katanya. “Pada tahun 2025, kita berharap untuk dapat memperingati kelahiran Anabaptisme di Zurich dan dengan ijin Tuhan, dalam enam tahun akan bertemu dalam Temu Raya di Ethiopia. Kita semua akan bekerja keras untuk membuat Mennonite World Conference menjadi sebuah persekutuan yang lebih kuat bagi para pengikut setia Kristus.” 

—ditulis oleh Paul Schrag, editor Anabaptist World, sebuah majalah yang berbasis di AS. Dicetak ulang dengan izin.

World assembly small but full of joy


*Hari ini, ada tiga kelompok Anabaptist-Mennonite di Indonesia:  

  • Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) 
  • Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI)  
  • Jemaat Kristen Indonesia (JKI)